oleh

Sejarah Sepak Bola Seria A Italia – Pertarungan Trio Belanda vs Jerman

Sejarah Sepak Bola – Pada tahun 1980-an hingga 1990-an Liga Italia meupakan kompetisi yang kompetitif, Jumat (22/11/2019)

Pemain dapat dikatakan elite jika sudah bermain dan merasakan ketatnya persaingan di Serie A.

Banyak pemain papan atas dunia kala itu merumput di Italia, sebut saja Diego Armando Maradona, hingga Zico.

Di awal 1980-an tersaji persaingan ketat antar dua bintang milik Juventus dan Napoli, Michel Platini serta Diego Maradona.

Kemudian memasuki era 1990-an dominasi bergeser ke kota Milan, tepatnya Rossoneri yang memilki trio Belanda.

Benar, di awal tahun 90-an, AC Milan yang ditangani Arrigo Sacchi memiliki tiga pemain Belanda yang menjadi andalannya.

Ketiganya meliputi Marco Van Basten, Ruud Gullit, hingga Frank Rijkaard.

Ketiganya dikombinasikan dengan talenta mengagumkan milik Italia, seperti Paolo Maldini, Franco Baresi, hingga Costacurta membuat  AC Milan dijuluki The Dream Team kala itu.

Kehebatan trio Belanda kala itu membuat AC Milan berhasil merengkuh empat Scudetto dan Piala Eropa.

Tentu saja kesuksesan AC Milan membuat rival sekotanya, Inter Milan mencoba menandinginya.

Tim berjuluk Nerazzurri itu berhasil mendatangkan trisula lainnya yang berasal dari Jerman.

Pertama kali Inter Milan mendatangkan duo Jerman terlebih dahulu, Ialah Lothar Matthaus serta Andreas Brehme di tahun 1988.

Satu tahun kemudian, trio Jerman berhasil terbentuk dengan Inter berhasil menggaet striker milik Stuttgart, Jurgen Klinsmann.

Persaingan Liga Italia semakin memanas dengan pertarungan trio jerman dan Belanda yang memperkuat dua tim kota Milan.

Dilansir dari These Football Times, Lothar Matthaus didatangkan Inter dari Bayern Munchen pada tahun 1988.

Selama berkiprah di The Bavarian, Matthaus berhasil mencatatkan 113 penampilan dan menyumbangkan 57 gol bagi raksasa Jeman itu.

Catatan yang sangat mengesankan bagi pemain yang berposisi sebagai gelandang bertahan.

Pemain yang juga bisa bermain sebagai libero itu memperkuat Inter Milan selama empat tahun dan membukukan 40 gol dari 115 penampilannya.

Ia merupakan sosok gelandang bertahan yang elegan, terbukti ia mampu mengatur jalannya pertandingan sebagai gelandang dan membantu penyeragan ketika timnya mengalami deadlock.

Lothar Matthaus juga terkenal dengan keunggulannya lewat duel duel udaranya, meskipun ia tidak memiliki tinggi yang ideal sebagai gelandang bertahan.

Sedangkan Andreas Brehme yang sama sama memperkuat Bayern Munchen besama Matthaus merupakan bek kiri yang ciamik.

Meskipun bukanlah yang terbaik di eranya, Brehme merupakan tipikal pemain yang mengandalkan kecerdasannya ketika bermain.

Pada awal kedatangnnya di Inter Milan, duo Jerman itu memang kesulitan untuk mendobrak dominasi Juventus, Napoli, hingga AC Milan.

Matthaus yang bertugas dilapangan tengah mencoba mengakomodii serangan mupun pertahanan dari tim Nerazzurri.

Sedangkan Brehme berhasil menggalang lini pertahanan yang kokoh bersama Walter Zenga, Giuseppe Baresi, hinga Giuseppe Bergomi.

Kala itu lini pertahanan Inter Milan menjadi tim yang paling sedikit kebobola, total 19 gol dari 32 pertandingan.

Kedatagan duo Jerman itu memberikan dampak yang signifikan pada permainan tim biru hitam.

Striker Inter saat itu, Aldo Serena merupakan penyerang yang hanya sanggup mengoleksi 40 gol dalam empat musim berseragam Nerazzurri.

Namun dengan kedatangan Matthaus sebagai gelandang box to box serta Brehme di sisi fullbek mampu membuat Serena melesakkan 22 gol.

Serena berhasil menyabet gelar Capocannoniere atau penyandang topskorer Liga italia.

Dampak instan yang diberikan duo Jerman dimusim 1988/1989 membuat Inter milan berhasil meraih gelar scudetto bersama pelatih mereka, Giovanni Trapattoni.

Moncernya lini depan tim biru hitam yang diisi oleh duet Ramon Diaz dan Aldo Serena tidak membuat Trapattoni enggan melirik juru gedor lainya.

Hasilnya pada tahun 1989, Iter Milan memboyng Jurgen Klinsmann dari Stuttgart.

Klinsman dimusim yang sama saat Inter mengangkat Scudetto, ia berhasil membawa timnya ke partai puncak Piala UEFA.

Ditahun itu pula Jurgen Klinsmann dinobatkan sebagai pemain terbaik Jerman.

Klinsmann bukanlah sosok striker yang memiliki kekuatan fisik terbaik di dunia, ia seperti kapas yang tertiup angin.

Alih alih tidak memiliki keunggulan fisik, Klinsmann merupakan sosok striker yang lebih mengandalkan kecerdasannya.

Jurgen Klinsmann selama di Inter Milan mencatatkan 95 penampilan dan melesakkan 34 gol.

Gol perdananya bersama Nerazzurri ia lesakkan ketika melakoni pertandingan keduanya, saat bertandang ke markas Bologna.

Meskipun trio Jerman saat itu bermain dengan gemilang, namun faktanya Nerazzuri gagal memepertahankan gelar Scudetto di musim 189/1990.

Napoli berhasil menjuarai kedua kalinya dimusim itu.

Meskipun demikian, pada usim itu, Klinsmann menjadi pencetak gol terbanyak bagi klub dengan torehan 15 golnya.

Sebagian besar dari golnya diperoleh melalui umpan yang diberikan Lothar Matthaus.

Sedangkan pertahanan yang digalang Andreas Brehme musim itu menjadi terbaik keempat.

Trio Jerman berhasil mengobati luka pendukung Interisti dengan meriah gelar Juara iala Dunia 90 bersama Jerman Barat.

Tro Jerman bersama koleganya berhasil mengalahkan Argentina di partai puncak.

Pada gelaran elite dunia itu Klinsmann mencatatkan tiga gol bersama Andreas Brehme, adapaun Matthaus mampu menyarangkan empat gol.

Para pendukung Inter Milan merasa timnya telah membantu Jerman memenagi gelar Juara Piala Dunia, meskipun tridente Jerman tidak dalam balutan seragam biru hitam.

Bagi trio Jerman, dapat dikatakan periode 1988 hingga 1992 merupakan periode terbaik bagi mereka.

Lothar Matthaus memantapkan dirinya sebagai salah satu gelandang terbaik permainan di liga terberat di dunia.

Sementara Brehme membuktikan bahwa ia mampu menjadi pemain individu yang luar biasa serta memimpin dengan brilian unit pertahanan.

Adapun Klinsmann mampu melangkah maju dan menjadi striker kelas dunia di klub, memainkan peran besar dalam kemenangan Piala UEFA.

Ketiganya mungkin tidak dapat dikenang seperti trio Balanda, namun bagi pendukung setia Inter Milan, mereka  dapat dikatakan lebih baik dibanding Ruud Gullit, Marco Van Basten, hingga Frank Rijkaard.