oleh

Arrivederci Il Mister, Marcello Lippi

www.news7up.com – Kesedihan melanda dunia sepakbola manakala pelatih legendaris Manchester UnitedSir Alex Ferguson, memutuskan pensiun setelah berkelana selama 39 tahun sebagai peramu taktik. Sulit untuk kembali memiliki pelatih dengan filosofi menyerang yang natural, hingga menghadirkan warna indah dalam sepakbola, milik Sir Alex.

Baru setahun semenjak kepergian pria Skotlandia itu, dunia sepakbola kembali dipaksa untuk ikhlas menerima keputusan salah satu rival terbesar Sir Alex, Marcello Lippi, untuk melepas statusnya sebagai pelatih sepakbola. Alasannya simpel, karena dirinya sudah menua dan memenangi segalanya.

“Karier saya [sebagai pelatih sepakbola] tak lagi tergambarkan dengan kata-kata. Kini saya tak ingin melatih lagi, saya sudah terlalu tua untuk itu,” ungkap kakek berusia 64 tahun tersebut, saat mengumumkan keputusannya untuk pensiun, Senin (3/11) lalu.

Sejatinya nakhoda berjuluk ‘Malaikat Putih’ itu sudah mengemukakan keinginannya untuk pensiun sedari awal tahun ini. Namun klub yang dilatihnya sekarang, Guangzhou Evergrande, berusaha untuk menunda keputusan itu seiring dengan kehebatan arsitek legendaris Juventus ini dalam melatih.

Dunia khususnya calcio Italia jelas akan sangat kehilangan Lippi. Sosoknya merupakan simbol kebesaran Negeri Pizza sebagai gudangnya para allenatore hebat.

Marcello Lippi Pensiun Sebagai Pelatih
                            Lippi memulai petualangan kepelatihan di Sampdoria Primavera

Layaknya kebanyakan pelatih sepakbola sebelum menjalani perannya tersebut, Lippi merupakan seorang pesepakbola profesional di era 1970-an. Namun nasibnya tak secerah dugaan, karena dirinya nyaris tak berprestasi saat jadi pemain. 

Menjelma sebagai salah satu pilar Sampdoria dalam sedekade lamanya, karier pemain yang berposisi sebagai bek tengah ini kemudian hanya mentok di klub-klub medioker macam Savona, Pistoiese, atau Lucchese. Lippi bahkan tak pernah sekalipun mengecap penampilan di timnas senior Italia.

Karier kepelatihan pria kelahiran 12 April 1948 itu akhirnya dimulai beberapa hari saja, selepas ia gantung sepatu sebagai pesepakbola pada 1982. Di usia yang tergolong muda, 34 tahun, Lippi dipercaya klub lawasnya, Sampdoria, untuk menjabat sebagai pelatih tim primavera.

Tiga tahun mengasah keahliannya dalam meracik taktik, Lippi kemudian berkelana untuk mendapatkan beragam pengalaman dengan melatih sederet tim penghuni Serie C dan Serie B Italia. Segudang pengalaman yang ia harapkan hasil melatih enam klub dalam rentang tujuh tahun, jadi bekalnya untuk menerima tawaran Atalanta, tim penghuni Serie A Italia, di musim 1992/93.

Targetnya mudah dengan hanya Salvezza, namun Lippi nyaris memberi harapan lebih pada tifosi La Dea. Pada akhir musim, klub yang bermarkas di Atleti Azzurri d’Italia itu dibawanya terbang ke posisi delapan klasemen. Mereka hanya terpaut sebiji poin saja dari Cagliari di peringkat tujuh, yang berhak lolos ke ajang Piala UEFA.

                                                 Lippi melegenda bersama Juventus

Cukup semusim di Atalanta, Lippi kemudian direkrut oleh tim yang lebih besar, Napoli, untuk mengatrol posisi mereka pasca ditinggal sang legenda, Diego Maradona. Hasilnya? Sesuai harapan, Il Partonopei kembali ke papan atas dengan lolos ke Piala UEFA, di akhir musim 1993/94.

Seiring namanya yang makin mencuat, secara mengejutkan pada musim panas 1994/95, Lippi diboyong tim terbaik Italia, Juventus, untuk menggantikan peran allenatore legendaris, Giovanni Trapattoni. Tak mau sendirian, ia lantas membawa dua anak asuhnya di San Paolo, yakni Gianluca Vialli dan Ciro Ferrara.

Gebrakan luar biasa langsung dihadirkan Lippi di musim perdananya. Empat gelar sekaligus depersembahkannya untuk Si Nyonya Tua. Gelar itu meliputi Piala Super Italia, Piala Italia, scudetto Serie A, dan Piala UEFA! Luar biasanya ia melakukan itu dengan mengesampingkan sosok kecintaan publik Turin dan Italia, Roberto Baggio, dan menggantinya dengan bocah ingusan bernama Alessandro Del Piero.

Di musim keduanya sesuatu yang lebih hebat diukir. Mengandalkan skema 4-3-1-2 yang ia populerkan, satu trofi saja yang dihasilkan, tapi trofi itu adalah ‘Si Kuping Lebar’ Liga Champions! Sejak saat itu julukan Il Mister melekat padanya, menilik kehebatan Lippi dalam membaca permainan lawan dan filosofi sepakbola kolektifnya.

“Filosofi saya? Sekelompok pemain terbaik tak selalu menghasilkan tim terbaik. Anda harus bisa mempersatukan tim, entah seperti apa situasinya, untuk bisa mengalahkan siapapun!” papar Lippi, yang kemudian membawa I Bianconeri ke final Liga Champions tiga kali beruntun.

Sempat pergi di pertengahan musim 1998/99 dan melatih FC Internazionale di musim 1999/00, Lippi kemudian kembali ke Juve dimusim 2001/02. Ia mempersembahkan sepasang Piala Super Italia dan scudetto, serta mengantarkan Del Piero cs ke final Liga Champions 2002/03 meski harus kalah. 

Perpisahan Si Malaikat Putih dengan La Vecchia Signora akhirnya benar-benar terjadi di musim 2003/04, di mana Lippi melanjutkan petualangannya melatih bersama timnas Italia.


             Di tengah calciopoli, Lippi ke puncak dunia bersama timnas Italia pada 2006

Sejatinya Lippi ingin mengambil waktu untuk rehat sejenak dari aktivitas sepakbola. Namun tantangan lain berupa melatih tim nasional begitu menggodanya. Ia pun memutuskan untuk mengambil peran itu dengan lagi-lagi menggantikan kursi milik seniornya, Giovanni Trapattoni.

Beberapa hasil tak meyakinkan dipetik Gli Azzurri arahan Lippi, baik di babak kualifikasi maupun uji coba. Yang paling jadi sorotan adalah ketika Italia kalah di markas Slovenia, pada matchday 3 babak kualifikasi Piala Dunia. Il Mister disebut telah melakukan sebuah kesalahan besar dengan menyertakan nama-nama asing macam Aimo Diana, Fabio Grosso, hingga Luca Toni. Sementara para pemain mapan sekelas Christian Vieri, Marco Di Vaio, hingga Antonio Cassano malah ditinggalkannya.

Perlahan namun pasti, segala kritik pun terhapus sejalan dengan membaiknya performa La Nazionale yang lolos ke Piala Dunia 2006 dengan status sebagai juara grup kualifikasi. Hasil uji coba menjelang turnamen pun gemilang, karena mereka sempat membantai tim-tim unggulan macam Belanda dan Jerman.

Peak performance akhirnya mampu dihadirkan saat turnamen bergulir. Tak kesulitan di fase grup, Italia menunjukkan mental juara di babak perdelapan-final dan perempat-final dengan menyingkirkan Australia dan Ukraina. 

Fabio Grosso cs kemudian mematahkan segala prediksi dengan membuat tuan rumah, Jerman, menangis sejadinya di babak semi-final. Padahal di momen tersebut, sepakbola Italia tengah digemparkan dengan kasus pengaturan skor yang disebut calciopoli. Percobaan bunuh diri yang dilakukan Gianluca Pessotto pasca tuduhan Juve sebagai tersangka utama, sempat membuat beberapa penggawanya pulang ke negeri asal untuk menjenguk.

Namun segala masalah yang menerpa persepakbolaan Italia, mampu disikapi Lippi dengan bijak tanpa mengganggu persiapan anak asuhnya menuju final. Setelah Der Panzer sukses dikalahkan, Prancis jadi korban lanjutan di partai puncak. Berkesudahan 1-1 selama 120 menit laga, yang disertai momen tandukanZinedine Zidane, Italia akhirnya meraih gelar juara dunia untuk kali keempat sepanjang sejarah, melalui babak adu penalti!

Selepas turnamen, secara mengejutkan Lippi memutuskan untuk tak memperpanjang kontraknya sebagai pelatih Italia. Ia kemudian istirahat selama dua tahun dan akhirnya kembali lagi ke tempat yang sama pada 2008. 

Sayang kali ini hasilnya sungguh berbeda, karena Italia hancur lebur di Piala Dunia 2010 dengan menjadi juru kunci di babak fase grup. Lippi yang kemudian mundur lantas mengakui jika momen itu adalah blunder terbesar dalam kariernya sebagai pelatih.

“Sebelum Piala Dunia 2006, saya telah memutuskan untuk mundur bagaimana pun hasilnya. Lalu dua tahun kemudian, saya kembali karena saya meninggalkan skuat yang fantastis di tim nasional,” ungkap Lippi saat diwawancarai Radio 24.

“Namun keputusan itu rupanya sebuah kesalahan besar. Saya seharusnya tidak kembali ke tim nasional setelah berhasil menjuarai Piala Dunia. Itu adalah salah satu blunder terbesar dalam karier saya,” tandasnya penuh penyesalan.


            Lippi jadi pelatih pertama yang mengawinkan gelar Liga Champions dua federasi

Kembali mengambil cuti dari dunia sepakbola selama dua tahun, isu untuk kembali melatih Juventus yang tengah terpuruk menyeruak. Namun sebuah keputusan berani diambil Lippi, dengan menerima tawaran klub asal Liga Super Cina, Guangzhou Evergrande, untuk jadi pelatih kepala.

Siapa sangka, petualangannya ke Negeri Tirai Bambu ternyata jadi bagian lain perjalanan indah Lippi dalam melatih. Double winners langsung ia persembahkan di musim perdana dengan menjuarai Liga Super Cina dan Piala FA Cina. Di musim kedua, pria asal Viareggio, Tuscany ini menorehkan suatu fenomena yang tak akan dilupakan publik sepakbola Cina.

Dengan performa luar biasa, Guangzhou sukses menyandingkan trofi Liga Super Cina dengan sesuatu yang mungkin tak terbayangkan. Ya, secara mengejutkan mereka sukses meraih gelar juara Liga Champions Asia 2013! Di final Zheng Zhi cs sukses menghempaskan tim favorit turnamen, FC Seoul. Gelar itu jadi yang pertama dalam sejarah klub dan untuk tim asal Cina. Lippi pun ditasbihkan sebagai satu-satunya pelatih yang mampu mengawinkan gelar Liga Champions dua federasi berbeda, yakni UEFA dan AFC.

Puas dengan segala torehannya, menginjak usia 66 tahun di musim 2013/14 Lippi merasa jika segalanya sudah cukup. Meski terikat kontrak hingga 2017, ia pun memutuskan untuk mengakhiri segala petualangannya sebagai palatih sepakbola, tepat di akhir musim ini, atau pada Senin (3/11) lalu. Sebelum berpisah, ia masih mencatatkan prestasi manis dengan membawa Guangzhou juara Liga Super Cina untuk kali ketiga secara beruntun.

Peran sebagai direktur teknis Guangzhou adalah jabatan Lippi selanjutnya, untuk menghabiskan sisa tiga tahun masa kontraknya.

“Guangzhou Evergrande akan memiliki pelatih baru untuk musim depan. Saya akan terus mengikuti dengan peran sebagai direktur teknis,” ungkap Lippi menjawab spekulasi dirinya akan balik melatih di Italia.

Seturut dengan keputusannya, kini kita tak akan lagi dihibur oleh pria dengan aura dingin, berambut putih, sembari menghisap nikmatnya cerutu yang melekat setia di mulutnya, dan berdiri tenang di pinggir lapangan. Sepakbola akan selalu mengenang dan merindukannya.

Dan ucapan salam terakhir teruntuknya, Arrivederci Il Mister, Marcello Lippi!

MARCELLO LIPPI

Nama: Marcello Romeo Lippi

Tempat, Tanggal Lahir: Viareggio, Italia, 12 April 1948

Klub Bermain:

Sampdoria (1969-79)
Savona (1969-70)
Pistoiese (1979-81)
Lucchese (1981-82)

Klub Melatih:

Sampdoria Primavera (1982-85)
Pontedera (1985-86)
AC Siena (1986-87)
Pistoiese (1987-88)
Carrarese (1988-89)
Cesena (1989-91)
Lucchese (1991-92)
Atalanta (1992-93)
Napoli (1993-94)
Juventus (1994-99)
FC Internazionale (1999-00)
Juventus (2001-04)
Timnas Italia (2004-06 & 2008-10)
Guangzhou Evergrande (2012-14)

Koleksi Gelar

(Juventus)

Serie A Italia: 5 (1994/95, 1996/97, 1997/98, 2001/01, 2002/03)
Coppa Italia:  1 (1994/95)
Supercoppa Italia: 4 (1995,1997, 2002, 2003)
Piala UEFA: 
1 (1994/95)
Liga Champions: 1 (1995/96)
Piala Super Eropa: 1 (1996)
Piala Interkontinental: 1 (1996)

(Timnas Italia)

Piala Dunia: 1 (2006)

(Guangzhou Evergrande)

Liga Super Cina: 1 (2012, 2013, 2014)
Piala FA Cina: 2012
Liga Champions Asia: 2013

 


“Kini kali terakhir Marcello Lippi berada di bangku cadangan. Dan sekali lagi ia jadi pemenang. Selalu larut dalam kenangan tak terlupakan. Terima kasih Il Mister!

– Alessandro Del Piero

 

“Setiap orang di dunia memiliki peran masing-masing. Namun, jika saya boleh menghormati seorang pelatih saja, dia adalah Marcello Lippi,”

– Zinedine Zidane